Transformasi Fiskal Digital: Lompatan Struktural untuk Keberlanjutan Penerimaan Negara

Oleh S. Herianto

Pendahuluan

Indonesia tengah berdiri di persimpangan penting dalam perjalanan fiskalnya. Target penerimaan negara yang terus meningkat menunjukkan ambisi besar pemerintah untuk membiayai pembangunan nasional secara mandiri. Di tengah lonjakan ekonomi digital dan meningkatnya transaksi daring, perpajakan harus menyesuaikan diri agar tidak tertinggal oleh zaman.

Era digital membawa tantangan sekaligus peluang luar biasa. Di satu sisi, ada kebocoran pajak akibat penghindaran kewajiban oleh pelaku ekonomi digital lintas negara. Di sisi lain, teknologi membuka ruang efisiensi dan transparansi penerimaan negara. Kini saatnya pemerintah melakukan transformasi fiskal secara ekstrem dan brutal agar tak lagi bergantung pada mekanisme konvensional yang usang.

 

Transformasi Fiskal Digital: Lompatan Struktural untuk Keberlanjutan Penerimaan Negara
Ilustrasi Struktural untuk Keberlanjutan Penerimaan Negara

1. Teori dan Konsep Pajak Era Digital

Dalam teori perpajakan modern, efisiensi fiskal menjadi fokus utama. Pajak ideal harus mampu menghasilkan penerimaan maksimal dengan beban minimum terhadap pelaku ekonomi. Konsep ini menuntut desain sistem perpajakan yang adaptif, progresif, dan berbasis data.

Selama beberapa dekade terakhir, diskursus global menyoroti pentingnya digital services tax (DST) dan significant economic presence (SEP) sebagai solusi pajak era digital. DST memberikan dasar pemungutan pajak atas layanan digital asing yang tidak memiliki kehadiran fisik di negara pengguna. Sementara itu, SEP memperluas definisi kehadiran usaha menjadi berbasis nilai ekonomi yang ditinggalkan perusahaan digital dalam ekosistem lokal.

Tak kalah menarik, muncul pula gagasan integrasi kecerdasan buatan ke dalam perumusan kebijakan pajak. Sistem ini memungkinkan tarif yang fleksibel, insentif otomatis, dan pemantauan perilaku wajib pajak berbasis algoritma pembelajaran mesin.

 

2. Praktik Pajak Digital Terbaik Dunia

Sejumlah negara telah menjadi pelopor perpajakan digital. Inggris, Prancis, Italia, dan India telah memungut DST dengan tarif antara 1,5 hingga 7,5 persen dari pendapatan perusahaan teknologi global. Langkah ini berhasil meningkatkan penerimaan dan mempersempit ruang bagi penghindaran pajak.

Meksiko dan Rwanda menunjukkan bahwa negara berkembang pun mampu melakukan lompatan digital. Dengan membangun sistem pelaporan daring, e-faktur, dan audit otomatis, kedua negara itu berhasil meningkatkan kepatuhan pajak tanpa membebani pelaku usaha.

Indonesia sendiri telah menempuh jalan progresif. Sejak pertengahan 2020, pemerintah menetapkan kebijakan pemungutan PPN oleh perusahaan digital asing yang menjual barang atau jasa kepada konsumen dalam negeri. Hingga pertengahan 2023, ratusan pelaku usaha digital terdaftar sebagai pemungut pajak dan menyumbangkan triliunan rupiah ke kas negara.

Langkah lebih agresif diambil dengan menetapkan platform digital sebagai pemungut PPh dalam negeri. Ini artinya, tidak hanya konsumen dikenai PPN, tapi juga pendapatan para pelaku usaha digital lokal dikenakan pajak melalui perantara platform.

 

3. Celah, Hambatan, dan Realitas Regulasi

Namun, keberhasilan itu belum merata. Masih banyak pelaku digital yang belum ditunjuk sebagai pemungut pajak, dan regulasi yang ada belum sepenuhnya mampu menjangkau model bisnis baru seperti influencer, game online, atau layanan berbasis blockchain.

Regulasi yang lamban dan sosialisasi yang lemah sering membuat kebijakan terbengkalai. Ketika pemerintah berupaya menerapkan pajak pada transaksi digital, muncul resistensi dari pelaku industri, terutama dari perusahaan raksasa global yang menganggap aturan Indonesia tidak sejalan dengan hukum internasional.

Masalah lainnya adalah keterbatasan integrasi data lintas kementerian, kurangnya SDM ahli teknologi di otoritas pajak, serta literasi pajak digital yang masih rendah di kalangan pelaku UMKM dan kreator konten.

 

4. Strategi Radikal Menuju Masa Depan Pajak Digital

Untuk mengamankan masa depan penerimaan negara, strategi perpajakan digital harus dilakukan secara menyeluruh dan agresif.

Pertama, digitalisasi penuh seluruh sistem perpajakan: pelaporan daring, audit otomatis, pelacakan transaksi real-time, serta dashboard kepatuhan wajib pajak berbasis AI. Hal ini akan menekan manipulasi data dan mempercepat proses administrasi.

Kedua, perluasan cakupan pajak digital: dari hanya memungut PPN atas layanan asing, menjadi pemungut PPh dan pajak lainnya atas aktivitas pelaku lokal yang bermitra dengan platform digital.

Ketiga, penerapan prinsip SEP dan pilar OECD: memastikan perusahaan multinasional membayar pajak bukan hanya berdasarkan kehadiran fisik, tetapi juga karena nilai ekonomi yang mereka hasilkan di Indonesia.

Keempat, pengembangan sistem pajak berbasis AI. Algoritma yang cerdas dapat mengidentifikasi celah pelanggaran, menyesuaikan tarif berdasarkan kapasitas, dan memberikan rekomendasi insentif fiskal secara real-time.

Kelima, revolusi literasi pajak digital: pemerintah harus menjadikan pajak sebagai budaya digital. Edukasi kepada konten kreator, startup, pengusaha online, hingga komunitas game dan teknologi sangat krusial.

 

5. Proyeksi Masa Depan

Jika kebijakan ini dijalankan dengan ketegasan dan visi jangka panjang, maka penerimaan negara dari sektor digital bisa melesat. Dalam lima tahun ke depan, kontribusi pajak digital berpotensi menyumbang lebih dari 20% dari total PPh dan PPN nasional.

Dengan target penerimaan negara mendekati Rp 3.000 triliun, digitalisasi pajak dapat menjadi pilar utama pencapaian tersebut. Bahkan, bila dimaksimalkan, penerimaan dari sektor digital bisa menyaingi sektor migas dan pertambangan yang selama ini menjadi andalan.

Namun, bila langkah-langkah ini tidak dijalankan secara brutal, maka Indonesia akan terus kehilangan triliunan rupiah setiap tahun. Celah penghindaran pajak akan semakin lebar, dan ketergantungan pada utang luar negeri pun tak terhindarkan.

 

Simpulan

Transformasi fiskal digital bukan sekadar kemajuan teknologi administratif, melainkan langkah strategis dan fundamental untuk membangun negara berdaulat secara ekonomi. Digitalisasi bukan pilihan, tapi keharusan.

Pemerintah harus berani mengadopsi cara-cara ekstrem dalam mengejar kepatuhan pajak digital. Jangan segan menantang dominasi perusahaan global yang selama ini mengambil untung dari Indonesia tanpa menyumbang sepeser pun.

Artikel ini menegaskan: bila Indonesia ingin bertahan dan tumbuh di era digital, maka sistem perpajakannya harus dilahirkan kembali. Bukan tambal sulam, tapi rekonstruksi total. Pajak digital adalah masa depan, dan masa depan itu harus dimulai sekarang.

 

0 Comments